KATA
PENGANTAR
Dengan mengucap puji
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkat dan karunianya, baik
berupa waktu, kesehatan, dan kesempatan sehingga makalah Ideologi Liberalisme
ini dapat tim penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Maksud pembuatan makalah
dan ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diwajibkan oleh Dosen
Pengantar Ilmu Politik kepada mahasiswa/i.
Dalam penyelesaian
makalah ini, tim penulis banyak mendapat petunjuk arahan dan informasi dari berbagai pihak.
Semoga segala bantuan,
petunjuk, arahan, informasi dan saran yang telah diberikan kepada penulis akan
mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kami
menyadari bahwa penulisan makalah kami masih sangat jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan untuk
penyempurnaannya kelak.
Kiranya
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui tentang
seluk beluk ideologi-ideologi terutama Ideologi Liberalisme. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa, senantiasa memberikan berkah dan kasihNya bagi kita semua.
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………………….…………………………………………………… 1
Daftar
Isi……………………………………………………………………………… 2
Bab
I Ideologi Liberalisme
I.I Perkembangan
Awal Ideologi Liberal…………………………………………. 3
I.II Pengertian
Liberalisme………………………………………………………… 4
I.III Ciri Politik
Liberalisme………………………………………………………... 4
I.IV Negara
yang Menganut Paham Liberalisme…………………………………... 4
I.V Klasik
dan Modern…………..………………………………………………... 5
I.VI Pokok-pokok
Liberalisme……………………………………………………… 6
Bab II Tokoh-tokoh
dan Pemikiran tentang Liberalisme
II.I Martin
Luther dalam Reformasi Agama………………………………………. 7
II.II John Locke
dan Hobes…………………………………………………………. 7
II.III John
Stuart Mill………………………………………………………………... 8
II.IV Adam Smith…………………………………………………………………… 9
II.V Relevansi Kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi
dan Kapitalisme……………………………………………………………….. 9
Daftar Pustaka……………………………………………………………………….. 11
BAB I
IDEOLOGI LIBERALISME
I.I Perkembangan
Awal Ideologi Liberal
Ideologi ini erat kaitannya dengan pemikiran-pemikiran yang lahir pada
masa Pencerahan dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18. Liberalisme
merupakan ideology kelas tertentu yang mecirikan kepentingan ketentuan. Tapi,
ciri-ciri pemikiran Pencerahan yang universal dan mutlak serta ideology liberal
yang merupakan jawaban terhadap gaya monarki Perancis yang agak total,
sebagiannya telah tidak memungkinkan dibicarakannya dan diperdebatkannya
organisasi-organisasi sosial dan politik Perancis; ia tidak mungkin dibicarakan
dalam kerangka pembaharuan tertentu apalagi para pemikir Pencerahan cenderung
menggeneralisirnya dengan abstraksi-abstraksi yang luas, walau demikian
‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’ jelas mengacu pada aspirasi kaum
borjuis Perancis – pengusaha kelas menengah yang baru muncul, pedagang, banker,
intelektual dan para profesional yang merasa di kekang oleh lembaga
kebangsawanan yang dikuasai oleh monarki absolute.
Kaum borjuis Perancis abad ke-18 berusaha untuk mengakhiri penguasaan
ekonomi yang telah ketinggalan zaman (dikenal sebagai ‘merkantilisme’) para
perdagangan, penanaman modal. Mereka berusaha menghilangkan peranan Gereja
Katolik sebagai pemilik harta kekayaan dan lembaga ekonomi. Mereka menuntut
pengurangan kekuasaan monarki atau menurut ketentuan kejadian yang bersifat
revolusioner-menghapus sama sekali; selain mendesak penghapusan warisan hak-hak
istimewa dan status sosial yang membedakan mereka dengan kaum bangsawan. Mereka
menghendaki kontrol pada lembaga parlementer sebagai monarki, menuntut sistem
ekonomi perdagangan bebas yang kapitalisme dan asas-asas laissez faire(negara tidak campur tangan) sebagai pengganti
merkantilisme, dan ingin agar semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk
mengembangkan diri, tidak terbebani oleh perbedaan-perbedaan gelar dan derajat
sebagai pengganti hak istimewa dan status sosial yang diwariskan.
I.II Pengertian Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman
bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
I.III Ciri Politik Liberal
Berdasarkan pengertian liberalisme di atas, kita dapat
membuat kesimpulan bahwa negara yang menganut politik liberalisme memiliki
ciri-ciri:
1. Menjamin kemerdekaan dan kebebasan
berekspresi setiap individu.
2. Persaingan ekonomi dijalankan oleh
golongan swasta.
3. Setiap orang berhak menganut maupun
tidak menganut agama.
4. Kekuasaan politik berdasarkan suara
dominan.
5. Negara tidak mencampuri urusan
pribadi warga negaranya.
6. Solidaritas sosial tidak berkembang
krena tumbuhnya persaingan bebas.
I.IV Negara-Negara Yang Menganut Paham Liberal :
BENUA
|
NEGARA
|
Amerika
|
Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brazil, Cili, Cuba,
Kolombia, Ekuador, Honduras, Kanada, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay,
Peru, Uruguay dan Venezuela.
|
Eropa
|
Albania, Armenia, Austria, Belgia, Bulgaria, Croasia, Cyprus,
Republik Cekoslovakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani,
Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Macedonia,
Moldova, Netherlands, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Rusia.
|
Asia
|
India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina,
Taiwan, Thailand dan Turki, Myanmar, Hongkong, Singapore.
|
Afrika
|
Aljazair, Angola, Afrika Selatan, Mesir, Tunisia, Maroko,
Gambia.
|
Kepulauan
Oceania
|
Australia,
Selandia Baru.
|
Kepentingan
Pribadi dan Utilitarianisme.
Perlunya keselarasan sosial yang dihasilkan oleh masing-masing individu untuk
mengejar kepentingan pribadinya dan motivasi adalah hasil dari ‘kemanfaatan’
atau pendeknya, orang akan berbuat (sesuatu) sesuai dengan pemikiran bahwa itu
berguna bagi kepentingan pribadinya. Asas utilitarianisme dirancang dengan
menautkan perilaku individu yang mempunyai kepentingan pribadi untuk
menghasilkan keselarasan dalam kepentingan umum yang menjadi cirri masyarakat
yang baik. Dalam hubungan inilah liberalisme klasik menggambarkan negara
sebagai perintang yang diperlukan dan dalam masyarakat yang baik inilah
terletak fungsi utama negara. Adalah jelas bahwa liberalisme lebih suka
meluaskan keadilan sosial dan perspektif individu bukan dari perspektif
masyarakat keseluruhan. Liberalisme klasik menegaskan kebajikan dan kemampuan
individu dalam kerangka pengusahaan ekonomi dan kecerdikan usaha.
Peranan
Pemerintah dan Pertarungan Hidup. pihak liberal klasik berpendapat dengan adanya pemerintah
turut campur tangan dalam ekonomi pasti akan mengganggu keseimbangan sosial
yang ada akibat kebebasan individu untuk mengejar kepentingan pribadinya.
Dengan demikian, pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk mengambil alih hasil
kerja baik melalui nasionalisasi alat-alat produksi(secara langsung) atau
melalui perpajakan(secara tidak langsung).
Elit
Penguasa. Kekuasaan
politik seharusnya ada dalam tangan mereka yang mempunyai hak milik sendiri,
mereka dengan kecerdasan dan kerja kerasnya telah menunjukkan kemampuan yang
lebih untuk memerintah. Plato (berpandangan ortodoks) menentang gabungan
kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi sebagai pengganggu baik terhadap
penguasa maupun yang dikuasai. Lain halnya dengan John Calvin pada abad ke-16
bahwa wewenang politik terletak pada keberhasilan ekonomi yang ‘ditakdirkan’
Tuhan. Manusia bisa sejahtera hanya karena kehendak Tuhan dan kemakmurannya
adalah pertanda jelas bahwa Tuhan telah memilih mereka untuk diselamatkan,
karena itu hanya mereka yang telah memperoleh rahmat suci dari Tuhan-lah yang
patut memerintah.
Fungsi
Pemerintah. Liberalisme
klasik menginginkan agar fungsi pemerintahan dipersempit karena pemburuan
kepentingan ekonomi orang-seorang sering terhambat oleh campur tangan
pemerintah. Konsep Smith mengenai ‘kekuasaan yang terselubung’ dimaksudkan
untuk mereka yang serakah. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang
kekuasaannya terbatas, sedang pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang tidak
begitu berkuasa karena memerintah sama saja dengan membuat kejahatan meskipun
suatu kejahatan yang diperlukan. Peranan
pemerintah adalah menjamin hak setiap individu untuk memiliki kekayaan pribadi.
Pada hakekatnya, liberalisme klasik merupakan suatu ideologi yang membenarkan
penguasaan otoriter terhadap seluruh masyarakat oleh kelas menengah yang kaya.
I.VI
Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai
pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
·
Dengan
adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak
yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi,
kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan
persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme
individu. ( Treat the Others Reason Equally.)
·
Pemerintah
harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh
bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak
rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
·
Berjalannya
hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi
pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana
seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan
mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan
terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
·
Negara
hanyalah alat (The State is Instrument).
·
Dalam
liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).
Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John
Locke (1632 – 1704) yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan
ini, kebenaran itu adalah berubah.
BAB II
TOKOH-TOKOH
& PEMIKIRAN TENTANG LIBERALISME
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah
serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik
Roma.. Pada saat itu
keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan, yang ada
hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja
dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. Individu menjadi tidak
berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh
Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun.
Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya
saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan
ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia
menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul
sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang
tadinya “terkekang”.
II.II John Locke
dan Hobbes:
Konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni
sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih
dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya,
kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu
sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang
mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu
itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin
hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu
masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi
hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga
(penguasa). Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State
of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau
kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga
mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah
namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing
dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/
pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi
Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini
sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme.
Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum
(masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya
tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu
akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya
sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.
II.III John Stuart Mill
John
Stuart Mill (1806-1873) merasa ragu bahwa utilitarianisme sama ilmiahnya dengan
yang diasumsikan oleh penemunya (dan ayahnya sendiri, James Mill). Mill
mengatakan bahwa dengan mengusahakan untuk mengurangi semua motivasi sampai
hanya asas hedonistik tentang kesenangan-penderitaan, utilitarianisme terlalu
menyederhanakan tingkah laku manusia. Perbedaan antara berbagai macam
kesenangan lebih bersifat kualitatif dan kuantitatif, dan terdapat ukuran
moralitas dalam tingkah laku yang menjadikan definisi ‘baik’ dan ‘benar’ lebih
merupakan masalah filosofis daripada perhitungan matematik. Keadilan suatu
masyarakat juga harus didefinisikan dengan menunjuk nilai-nilai yang tidak
tergantung pada kebebasan ekonomi dan kemajuan materi. Akhirnya, ada kebebasan
batiniah, berpikir, berpendapat, dan mengungkapkan sifat seorang manusia yang
sebenarnya, kemampuan individualnya lebih dicerminkan oleh akal bukan oleh isi
dompetnya.
Mill
juga mengatakan bahwa meskipun bakat dimiliki manusia secara berbeda-beda, suatu
sistem laissez faire bukanlah jaminan
bahwa setiap orang akan menerima ganjaran setimpal. Mill yakin bahwa imbalan
seringkali berada dalam ‘proporsi terbalik terhadap pekerjaan’, bahwa dasar
pembaharuan sosial dan politik melalui pemerintahan
sangat penting, bahwa kondisi eksploitatif buruh dan wanita menuntut perbaikan
dalam perundangan, dan bahwa pendidikan dan organisasi koperasi petani dan
serikat buruh merupakan salah satu sarana yang cocok untuk menumbuhkan
tingkatan keadilan dalam masyarakat. Mill sadar pentingnya kemerdekaan individu
dalam arti keadilan sosial dan menyadari bahwa liberalisme klasik telah
bersalah karena telah menjadikan manusia abstrak terhadap lingkungannya sebelum
mengidentifikasi sifat, motivasi, dan hak-hak yang Nampak. Memang jelas, bahwa
dasar penjelasan liberal klasik mengenai hak mutlak atas pemilikan pribadi.
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab
ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro
Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab
klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan
seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam
Smith (1723-1790).
Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh
Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama,
haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua,
perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan
kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga,
pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke
arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi
seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai
individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
Relevansi
kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang
relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai
Demokrasi dan Kapitalisme.
Demokrasi dan
Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia,
karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang
mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai
penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap
hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa
demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi
demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab, dan bukan
kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus
menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang
terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki
kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat
menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan
yang setinggi-tingginya pada kedaulatan
Rakyat.
Kapitalisme
dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan
masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu
sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi,
kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain,
kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk
mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk
mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah
bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan
negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual
secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk
mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari
usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia
mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa
kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar
Ilmu Politik. (Jakarta: Rajawali Pers,
Sukarna). Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung:
Penerbit Alumni, 1981)
Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat. (Jakarta:
Penerbit Mizan, 1998)
Mochtar Lubis (penyunting). Demokrasi Klasik dan Modern
(terj. The Demokracy Reader : Classic and Modern Speeches, Essay, Poems,
Declaration, and Document of Freedom and Human Right Worldwide oleh Diane
Ravitch and Abigail Thernstrom (editor). (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1994)
Miriam Budiardjo (penyunting). Simposium Kapitalisme,
Sosialisme, Demokrasi (Jakarta : PT Gramedia, 1984)